Sabtu, 14 Juni 2025, oleh Dr. Ni Putu Rai Yuliartini, S.H., M.H.
Dalam upaya memperkuat perlindungan terhadap korban kekerasan seksual, khususnya perempuan, peran desa adat di Bali kembali disorot. Kekerasan seksual masih menjadi bentuk kejahatan yang meresahkan masyarakat, terutama ketika korban menghadapi hambatan struktural dan sosial dalam memperoleh keadilan. Sering kali, korban mengalami diskriminasi, stigma, bahkan pengucilan yang memperparah kondisi psikologis mereka.
Data dari Komnas Perempuan dan LBH APIK Bali menunjukkan bahwa kasus kekerasan seksual terhadap perempuan terus terjadi dan bahkan mengalami fluktuasi selama lima tahun terakhir. Pada tahun 2022, tercatat 15 kasus di Bali, dengan kecenderungan masih adanya kesulitan dalam pemulihan dan perlindungan hak korban, terutama ketika proses hukum tidak cukup berpihak pada penyintas.
Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2023 tentang Provinsi Bali memberikan harapan baru. Melalui pengakuan desa adat sebagai kesatuan masyarakat hukum adat, desa adat memiliki kewenangan untuk ikut serta melindungi dan memulihkan hak korban kekerasan seksual, selaras dengan nilai-nilai kearifan lokal. Ini merupakan langkah penting dalam penerapan pluralisme hukum, yang memadukan antara hukum nasional dan hukum adat demi keadilan yang menyeluruh.
Ke depan, desa adat diharapkan menjadi pelindung utama korban kekerasan seksual di tingkat lokal. Dengan kewenangan menyelesaikan konflik serta menjamin pemenuhan hak korban, desa adat harus diberdayakan agar mampu menciptakan ruang aman bagi perempuan. Pendekatan berbasis adat bukan hanya memperkuat budaya, tetapi juga menjawab kebutuhan hukum dan keadilan bagi seluruh lapisan masyarakat Bali.